Pers... Antara Idealisme dan Kepentingan

Jumat, 25 Februari 20111comments


Akhir-akhir ini berita tentang pernyataan kontroversial Sekretaris Kabinet, Dipo Alam yang disebut-sebut akan memboikot media marak menghiasi berbagai media di tanah air. Beragam reaksi terus bermunculan. Sejumlah pengamat pun langsung mencecar penyataan Dipo Alam tersebut. Bahkan ada dua media yang telah melayangkan somasi kepada Dipo Alam. Apa sih yang sebenarnya terjadi dengan pers di Indonesia ini?
Semenjak memperoleh kebebasan pada awal era reformasi yang lalu pers memang seakan boleh mengeluarkan apa saja. Kebebasan itu seolah tak terbatas, sebab batasan-batasan yang wajar tentang kebebasan itu memang tak bisa dibuat dengan mudah. Sayangnya setiap kritik yang dilontarkan selalu dianggap miring. Banyak di antara mereka yang selalu merasa paling benar. Tak mau dikritik tapi suka mengkritik, apalagi jika dipersalahkan tentu akan menolak. Sebenarnya apa yang dibilang Dipo Alam itu bisa dijadikan sebagai kritik yang membangun bagi pers untuk bisa lebih berkarya secara profesional. Sayangnya boro-boro introspeksi, justru mereka menuntut permintaan maaf. Padahal seringkali sejumlah media juga menayangkan kritikan pedas yang sebagian malah cenderung tendensius, toh mereka tak disomasi dan diharuskan untuk minta maaf.
 
www.komahi.umy.ac.id
Sebenarnya tugas pers adalah memberikan informasi kepada publik secara lugas dan apa adanya tanpa ditambah-tambahi atau pun dikurang-kurangi. Pers di Indonesia sebenarnya sudah mampu melakukannya, terbukti dengan banyaknya pemberitaan yang berimbang dan berkualitas. Namun, seringkali kita melihat dan bisa menilai bahwa berita yang disampaikan tidak lugas, terkesan lebay, dan menggiring opini publik, bahkan sempat memprovokasi. Masih teringat jelas di benak saya saat hubungan Indonesia dan Malaysia memanas, sebuah stasiun televisi berkali-kali menayangkan video masa lalu yang berisi ganyang Malaysia. Memang negeri jiran itu telah banyak melukai hati rakyat Indonesia, tapi bukankah konfrontasi tak menyelesaikan masalah, bahkan malah menambah panjang dan memperumit masalah yang sudah ada? Bukankah perang itu sebuah wujud dari kekerasan? Sementara selang waktu yang tak berapa lama muncul pula berita kekerasan di sebuah daerah dan semua media sepakat bahwa kekerasan itu tak perlu terjadi dan dialog harus dikedepankan.
Awalnya saya menyambut baik hadirnya dua televisi berita yang selalu update dengan informasi terbaru itu. Masyarakat pun dimudahkan dengan banyaknya informasi yang ditampilkan. Bahkan menurut pihak tertentu hanya dua stasiun televisi yang dianggap masih baik untuk ditonton, yakni dua stasiun televisi berita yang sekarang ada. Sementara stasiun televisi lain dianggap lebih banyak menampilkan tayangan yang tak mendidik, seperti sinetron, infotainment, dan lain-lain.
Belakangan arah pemberitaan berubah, terlebih yang berhubungan atau bisa dihubungkan dengan gejolak politik akhir-akhir ini. Sejak kepentingan politik pemilik kedua stasiun televisi tersebut ikut ‘bermain’, sebagian pemberitaan seolah-olah ditujukan untuk meningkatkan citra pemiliknya. Berita baik tentang pemiliknya akan terus diangkat, sementara berita buruknya seperti tak pernah ada. Tak hanya itu, berita buruk tentang lawan politik termasuk pula pemerintahan yang berkuasa akan diangkat dan diperbincangan dengan para pengamat. Satu hal yang membuat saya malas melihatnya adalah tokoh dan pengamat yang diundang seringkali hanya itu-itu saja. Ada beberapa nama tertentu yang sering muncul seolah pekerjaan rutin mereka adalah sebagai bintang tamu. Jika di stasiun TV A si C yang sering muncul, maka di stasiun TV B si D lah yang sering muncul.
 
www.tv9.co.id
Oleh karena itu-itu saja yang muncul, akhirnya publik pun didorong untuk berpikiran seperti sudut pandang mereka. Padahal masalah yang sering dibahas adalah masalah hukum, politik, ekonomi, dan lain-lainnya yang notabene merupakan cabang ilmu sosial, dimana tak ada yang bisa dikatakan benar mutlak maupun salah secara mutlak. Saya mengapresiasi perbincangan dan perdebatan yang melibatkan orang-orang dengan sudut pandang yang berbeda, tapi saya sangat tidak setuju dengan pembicaraan yang hanya melibatkan dua orang, yakni pembawa acara dan seorang pengamat yang membahas suatu masalah tertentu. Apalagi sering kita saksikan biasanya ia selalu melihat dari sisi negatif suatu permasalah. Jika ada kabar baik para pengamat ini sering bilang itu sementara, semu, dan lain sebagainya. Kalau kabar buruk yang datang…pasti celaan yang akan keluar. Hey… apa yang dia katakan bukanlah alat pengukur kebenaran.
Untung saja sudah banyak masyarakat yang tak mudah terombang-ambing oleh berita ini dan itu. Masyarakat kini sudah banyak yang bisa menilai mana yang tepat dan mana yang tidak. Kita bisa lihat itu dari berbagai forum maupun tulisan dan tayangan di sejumlah media. Pemerintah memang masih punya banyak kekurangan di sana-sini. Masih ada segudang PR yang belum bisa diselesaikan. Namun, bukan berarti kita lantas mencela dan mencaci maki pemerintah dengan kata-kata yang sangat tidak mengenakkan.
Memang untuk menjadi pejabat publik  telinga harus kebal dari cercaan. Namun, sebagai seorang manusia biasa tentu juga punya perasaan dan batas kesabaran. Ada satu pengalaman pribadi saya, meskipun saya bukanlah pejabat, tapi pengalaman ini membawa suatu hikmah bagi saya. Suatu saat saya melakukan kesalahan, orang-orang yang tahu saya salah, tapi tidak mengenal saya secara pribadi akan mengatakan ini-itu yang bermacam-macam. Saya paham itu karena memang saya salah. Namun, saya cukup merasa sakit hati pada orang yang menuduh saya bermacam-macam, sesuatu yang tak pernah saya kerjakan. Sesuatu yang memang mungkin dikerjakan oleh seseorang yang melakukan kesalahan seperti saya, tapi sama sekali saya tak pernah melakukannya. No..way.
Saya jadi berpikir, baru seperti ini saja saya sudah merasa seperti ini. Bagaimana dengan para pejabat itu ya… bagaimana kalau saya ada di posisi mereka? Tentu saja masih ada pejabat yang baik, meski tak bisa dipungkiri banyak yang…ah saya tak bisa mengatakannya, tapi karena banyak hal prestasinya kurang memuaskan. Tentu sudah banyak yang mereka kerjakan, sudah banyak pengorbanan dan kerja keras yang dilakukan, tapi hanya sedikit saja yang nampak di permukaan. Sementara publik hanya melihat dari apa yang muncul di permukaan. Tentu saja jika yang muncul tak sesuai dengan harapan, maka caci makian akan muncul dimana-mana. Tentu saja kritik yang membangun diperlukan, tapi bukan kritik yang hanya sekedar mencela. Kita semua tentu bisa membedakan mana kritik yang benar-benar murni sebagai kritikan dan mana yang lebih cenderung pada celaan.
Sebagai masyarakat yang tak berdaya ini saya hanya bisa berusaha berpikiran jernih. Tidak dengan mudah begitu saja menerima apa yang telah ditayangkan di media. Kita sendiri bisa menilai mana berita yang lugas dan mana yang tidak. Paling tidak, saya tak mudah termakan oleh kabar ini dan itu. Saya hanya berharap, tak ada lagi media yang tersandera independensinya hanya karena kepentingan politik tertentu. Semoga saja pihak-pihak yang berwenang dapat memecahkan masalah ini. Bagaimanapun pers yang bebas merupakan bagian yang tak boleh hilang dalam masyarakat. Tentunya… kebebasan yang bertanggung jawab dan mencerdaskan bangsa.

Share this article :

+ comments + 1 comments

Anonim
20 April 2017 pukul 09.26

Kalo ngilangin pakaian yang bekas digigitin anjing caranya gimana ya?

Posting Komentar

Monggo bagi yang mau berkomentar, silakan mengisi kotak di bawah ini :)

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Yusuf Abdurrohman - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger