Sejarah Penulisan dan Pembukuan Hadits

Jumat, 04 Februari 20112comments


Beberapa waktu yang lalu saya sempat menulis tentang enam orang penyusun hadits yang utama. Dari situ kita dapat melihat betapa gigihnya para pendahulu kita dalam memperjuangkan kelestarian ilmu agama. Tentu saja mereka tidak berjalan sendiri. Ada peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh penting di masa lalu yang berada di balik terciptanya hadits dalam bentuk kitab seperti yang kita temui sekarang. Berikut ini sejarah singkat mengenai penulisan dan pembukuan hadits yang saya tulis kembali dari buku agenda saya. Lagi-lagi buku agenda saya yang jadi sumber. Memang buku agenda yang saya beli di Pondok Pesantren Wali Barokah, Kediri, Jawa Timur ini isinya sangat bermanfaat. Selain membahas kisah-kisah sejarah, di dalam buku agenda itu juga terdapat uraian tentang ilmu tajwid dan indeks Alquran. Salah satu kisah sejarah yang penting adalah sejarah penulisan dan pembukuan hadits ini.   
Kedudukan Sunah dalam Sistem Hukum Islam
Hukum Islam bertumpu dan bersumber pada dua macam sumber hukum yang utama, yaitu Alquran dan Sunnah (Alhadits). Alquran adalah kalamulloh yang diturunkan pada Nabi Muhammad SAW. Lafadz-lafadznya sebagai mukjizat dan membacanya merupakan suatu amal ibadah. Allah menurunkan Alquran kepada Muhammad dalam kurun waktu kurang lebih 23 tahun. Alquran diturunkan melalui pengemban amanat wahyu (Jibril) dengan lafadz-lafadz yang asli dan diwahyukan kepada Nabi secara jelas ketika beliau terjaga bukan pada waktu tidur, bukan pula ilham (bisikan pada jiwa), kemudian Alquran disampaikan kepada umatnya persis seperti apa yang diturunkan kepadanya. Sedangkan Alhadits dalam istilah para ahli hadits ialah semua perkataan, perbuatan, persetujuan, cita-cita, sifat-sifat, atau keadaan akhlak dan bentuk fisiknya Nabi. Adapun yang dimaksud dengan persetujuan (takrir) ialah seseorang mengatakan suatu ucapan atau melakukan suatu perbuatan di hadapan Nabi dan beliau tidak mengingkarinya, atau perkataan dan perbuatuan itu tidak dikerjakan dihadapan beliau tapi beritanya sampai kepada beliau dan beliau tidak memberikan komentar, maka dengan tidak memberikan komentar dan ketidakingkarannya itu merupakan persetujuan (takrir).
Fungsi hadits terhadap Alquran itu sendiri adalah sebagai pen-syarah; merinci hal-hal yang disebutkan secara garis besar dalam Alquran, memberikan pembatas ayat-ayat yang masih umum, menjelaskan ayat-ayat yang pelik dan menguraikan ayat-ayat atau hal-hal yang dikemukakan secara ringkas. Dalam memberikan penjelasan mengenai Alquran, terkadang Nabi memggunakan ucapan, perbuatan, maupun kedua-duanya, misalnya di dalam Alquran tidak ada penjelasan tentang jumlah, bilangan, bacaan, dan cara melakukan sholat, kemudian haditslah yang menjelaskannya, juga di dalam Alquran tidak dijelaskan tentang kapan zakat itu diwajibkan, berapa nishobnya, berapa banyaknya yang harus dikeluarkan, dan harta benda apa yang harus dikeluarkan zakatnya, maka haditslah yang menerangkan secara terperinci tentang hal itu.
Mengingat pentingnya hadits dalam syariat Islam dan fungsinya terhadap Alquran, para sahabat sangat memberikan perhatian terhadap hadits-hadits Nabi dan berusaha keras untuk memperolehnya sebagaimana sikap mereka terhadap Alquran. Mereka mengafalkan lafadz-lafadz hadits dan maknanya, memahami dan mengetahui maksud dan tujuannya, juga mengamalkan isi dari hadits tersebut, termasuk mereka tahu berapa besarnya pahala dari menyampaikan hadits dari Rasululloh. Oleh karena itu tidaklah heran mereka bersungguh-sungguh menyampaikan hadits yang mereka terima, karena mereka yakin bahwa hadits itu merupakan ajaran agama yang wajib disampaikan kepada segenap manusia dan merupakan syariat universal yang abadi.
 
www.mediapalu.com
Penulisan Hadits pada Masa Rasululloh
Di masa Rasululloh masih hidup, hadits belum dibukukan dalam arti umum seperti Alquran. Hal ini disebabkan oleh dua faktor:
1.    para sahabat berpegang pada kekuatan hafalan dan kecerdasan akal mereka, di samping tidak lengkapnya alat-alat tulis yang mereka miliki,
2.   adanya larangan dari Rasululloh untuk menulis hadits, Rasululloh bersabda, “Janganlah kamu menulis sesuatu (yang kamu terima) dariku selain Alquran, barangsiapa yang telah menulis sesuatu selain Alquran hendaklah dihapus.” (H.R. Muslim).
Boleh jadi larangan menulis hadits itu karena dikhawatirkan akan tercampurnya hadits dengan Alquran atau penulisan hadits itu akan melalaikan mereka dari Alquran, atau larangan itu ditujukan kepada orang-orang yang dipercaya kekuatan hafalannya. Namun, bagi mereka yang tidak lagi dikhawatirkan akan tercampur aduknya hadits dengan Alquran, seperti mereka yang pandai baca tulis atau karena mereka khawatir lupa akan penulisan hadits itu, maka dalam pengertian ini menurut beberapa riwayat penulisan hadits bagi sebagian sahabat itu diizinkan.
Tidak berselang lama setelah Rasululloh wafat, para penulis hadits dari kalangan sahabat maupun tabiin bermunculan, khalifah Umar bin Khatab R. A. pernah bermaksud membukukan hadits, beliau mengumpulkan para sahabat lannya dan mereka sepakat untuk membukukan hadits, tetapi nampaknya Allah belum menghendaki ide Umar bin Khatab itu terlaksana. Baru setelah kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz (tahun 99 H.) beliau menginstruksikan pada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (dia adalah ahli fiqih dari kalangan tabiin yang diangkat oleh Umar bin Abdul Aziz sebagai gubernur dan qodi (juru hukum) di Madinah dan wafat pada tahun 120 H.). Setelah Ibnu Hazm adalah Imam Muhammad bin Muslim bin Shihab Azzuhr (ulama terkemuka di Hijaz dan Syam, wafat pada tahun 124 H.). Khalifah Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan pembukuan hadits karena merasa khawatir hadits akan hilang dan lenyap, sebab banyak sahabat yang meninggal atau karena khawatir tercampur baurnya hadits asli dan hadits palsu. Karena pada masa itu agama Islam telah meluas dan dianut oleh berbagai ras suku bangsa, muncul pula beragam kepentingan, dan adanya kelompok atheis yang ingin menghancurkan agama Islam dengan cara membuat hadits palsu yang menyesatkan demi mendukung kepentingan mereka.
Setelah generasi Azzuhri dan Abu Bakar bin Hazm berlalu, muncullah generasi berikutnya yang berlomba-lomba membukukan hadits. Tercatat sebagai ulama penulis hadits antara lain
·         Abu Muhammad Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij, wafat tahun 150 H. di Mekah,
·         Ma’mar bin Rasyid, wafat tahun 156 H. di Syam,
·         Abu Amr Abdurrahman Alazwa’i, wafat tahun 156 H. di Syam,
·         Sa’id bin Abi ‘Arubah, wafat tahun 151 H.,
·         Rabi’ bin Sabih, wafat tahun 160 H.,
·         Hammad bin Abi Salamah, wafat pada 176 H. di Basrah,
·         Muhammad bin Ishaq, wafat tahun 151 H.,
·         Imam Malik bin Anas, wafat pada tahun 179 H. di Madinah,
·         Abu Abdullah Sufyan Assauri, wafat pada tahun 161 H. di Kufah,
·         Abdullah bin Mubarak, wafat tahun 181 H. di Khurasan,
·         Hasyim bin Basyir, wafat pada 188 H. du Wasit,
·         Jarir bin Abdul Hamid, wafat pada tahun 188 H.,
·         Allais bin Sa’d, wafat tahun 175 H. di Mesir.
Pada masa ini pembukuan hadits masih campur aduk antara hadits dengan pendapat sahabat dan fatwa tabiin. Sayang dari banyaknya karya-karya pada masa itu hanya karya Imam Malik “Muwattho” yang kita jumpai, yang lain masih berupa manuskrip yang bertebaran di berbagai perpustakaan, itupun di perpustakaan barat. Tragedi dan serangan keji yang menimpa negeri Islam seperti penyerbuan dan perampasan oleh pasukan tartar dan tentara salib merupakan penyebab hilangnya hadits yang telah dibukukan itu.
Zaman keemasan pembukuan hadits terjadi pada tahun 200-300 H., pada abad ini tidak hanya dilakukan pembukuan terhadap hadits Rasululloh saja, tetapi juga ada yang menghimpun kitab musnad dan ada pula sebagian penyusun hadits yang dalam susunannya mengklasifikasikan sahabat menurut kronologi keislamannya (masuk Islamnya), ulama terbaik yang menyusun kitab ini adalah Ahmad bin Hanbal. Pengarang lainnya yang mengikuti sistem musnad ini mengklasifikasikan sahabat berdasarkan abjad nama. Mereka memulai dengan sahabat yang huruf pertama namanya adalah huruf “alif”, huruf “ba”, dan seterusnya. Ulama terbaik yang menyusun dengan cara demikian adalah  Imam Abdul Qasim Attabrani (wafat tahun 260 H.) dalam kitabnya Almu’jamul Kabir. Ulama lainnya yang menyusun hadits dengan sistem musnad ini ialah Ishak bin Rahawaih (wafat tahun 238 H.), Utsman bin Abi Syaibah (wafat tahun 239 H.), Ya’qub bin Abi Syaibah (wafat tahun 263 H.) dan lain-lain. Di samping itu, pada masa ini ada juga ulama yang menyusun kitabnya menurut sistematika bab fiqih dan sebagainya. Ia memulai penyusunannya dengan kitab salat, zakat, puasa, haji, lalu bab gadaian, dan seterusnya.
 
www.filesfull.com
Para penulis dengan sistem fiqih ini pun di antaranya ada yang:
a.   Membatasi kitab-kitabnya dengan hanya memuat hadits sahih semata, seperti Imam Bukhori dan Muslim,
b.  Tidak membatasi kitabnya dengan hanya memuat hadits sahih saja, tetapi mereka memasukkan pula hadits-hadits sahih dan hasan, bahkan hadits dhoif sekalipun. Sewaktu-waktu terkadang mereka menerangkan pula nilai-nilai hadits yang dimuatnya. Namun, pada saat yang lain mereka tidak menjelaskannya. Hal ini karena mereka telah merasa cukup dengan hanya menyebutkan sanad hadits secara lengkap dan menyerahkan sepenuhnya kepada para pembaca untuk mengkritik dan meneliti sanad-sanad dan matannya, serta untuk membedakan antara hadits-hadits sahih, hasan, dan dhoif.
Tugas membedakan hadits antara yang sahih, hasan, dan dhoif bukanlah suatu pekerjaan yang sulit bagi para pelajar hadits pada waktu itu, terlebih lagi bagi para ulama. Contoh utama bagi kitab hadits yang disusun menurut sistematika fiqih ini ialah kitab-kitab yang disusun oleh para penghimpun sunan (hadits) yang empat, yaitu Imam Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Abad ketiga Hijiyah ini merupakan zaman keemasan dalam bidang sejarah (tarikh) hadits dan pengumpulannya. Pada abad ini muncul sejumlah besar ulama kenamaan bidang hadits dan kritikus hadits. Pada masa ini pulalah terbit “sinar terang” Kutubus Sittah dan kitab semisal yamg memuat hampir semua kecuali sebagian kecil hadits Nabi dan yang menjadi pegangan utama bagi para ahli fiqih, mujtahid, ulama, dan pengarang. Dalam kitab-kitab tersebut para pemimpin rohani, pembaharu, ahli pendidikan, ahli moral, serta ahli jiwa dan sosial mendapatkan apa yang mereka perlukan.  
Share this article :

+ comments + 2 comments

17 Maret 2015 pukul 18.25

tulisan anda tentang Sejarah Pembukuan Hadist lebih lengkap. sangat bermanfaat.

8 Juni 2015 pukul 07.53

Terima kasih, saya hanya menuliskan kembali saja sebagai sharing pengetahuan. :)

Posting Komentar

Monggo bagi yang mau berkomentar, silakan mengisi kotak di bawah ini :)

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Yusuf Abdurrohman - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger